Ikan Raja Laut (Coelacanth) Ikan Purba
15.26Ikan raja laut atau Coelacanth merupakan ikan purba yang banyak hidup pada 360 juta tahun yang lalu. Ikan raja laut yang dikenal sebagai Coelacanth kini hanya tersisa dua spesies yaitu Latimeria menadoensis (Indonesia Coelacanth) dan Latimeria chalumnae (Comoro Coelacanth). Sedangkan berbagai jenis lainnya, sekitar 120 spesies, dinyatakan telah punah dan hanya ditemukan fosilnya saja.
Coelacanth adalah jenis ikan berparu-paru yang dipercaya sebagian ahli sebagai nenek moyang tetrapoda, yaitu nenek moyang binatang yang hidup di darat termasuk manusia. Ikan raja laut atau Coelacanth mempunyai habitat di lautan dalam, 700 meter di bawah permukaan laut. Meskipun terkadang ikan purba ini bisa berada di kedalaman laut 200 meter.
Ikan raja laut (Coelacanth) telah dianggap punah pada 65 juta tahun yang silam. Ke-120 spesies hanya dikenali dari berbagai fosil yang ditemukan. Namun pada 1938, seekor coelacanth hidup tertangkap oleh jaring hiu di Chalumna, Afrika Selatan.
Kapten kapal yang menangkap ikan tersebut tertarik sehingga mengirimkannya ke museum di London yang dipimpin oleh Nn. Marjorie Courtney-Latimer. Dr. J.L.B. Smith kemudian mendiskripsikan ikan purba tersebut dan memberikan nama Latimeria chalumnae pada tahun 1939. Nama genus ikan diambil dari nama pimpinan museum London, sedangkan nama spesiesnya sebagai pengenang lokasi penemuan ikan raja laut itu.
Hingga tahun 1990, beberapa ekor jenis Latimeria chalumnae (Comoro Coelacanth) berhasil tertangkap di Kepulauan Komoro, perairan Afika Selatan hingga ke Madagaskar.
Pada tahun 1998, seekor ikan raja laut tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara. Ikan jenis ini sebenarnya sudah umum dikenal oleh nelayan setempat namun belum terdiskripsikan hingga seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Erdmann dan beberapa temannya termasuk ilmuan LIPI mempublikasikannya dan belakangan ikan raja laut ini disebut sebagai spesies baru, Latimeria menadoensis (Coelacanth Sulawesi).
Antara ikan raja laut spesies Latimeria chalumnae (Coelacanth Komoro) dan Latimeria menadoensis (Coelacanth Sulawesi) mempunyai ciri-ciri yang serupa. Ekor ikan purba ini berbentuk seperti kipas dengan mata yang besar dan sisik yang terlihat tidak sempurna (seperti batu). Panjangnya mencapai 2 meter dengan berat mencapai 80-100 kg. Perbedaannya terdapat pada warna kulit Latimeria menadoensis yang berwarna coklat sedangkan Latimeria chalumnae berwarna biru baja.
Hujan Katak Di Jepang
20.25Satu Tahun yang lalu juni 2009, jepang dikejutkan dengan adanya phenomena aneh yang terjadi saat turun hujan.. bukannya air yang turun melainkan hewan aneh yang berbentuk ikan seperti kodok.. hal ini terjadi dibeberapa kota dijepang diantaranya kota taiwa, nakanoto, asahi dan kuki..
hewan ini memiliki panjang dengan diameter 5 cm berbentuk seperti ikan dan kodok, sejauh ini tidak ada yang dapat menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi… beberapa orang menyebutkan ini merupakan phenomena langka yang pernah terjadi dijepang dan mereka menyebutnya “binatang hujan” yang diakibatkan perubahan cuaca yang tidak menentu dinegara sakura ini, bagian metereologi jepang juga tidak dapat menjelaskan apa penyebab terjadinya hal tersebut…
16 juni, tn.aichi 45 thn sekitar jam 08.00 pagi wktu jepang, terkejut dan merasa aneh mendengar sesuatu yang jatuh dari atas mobilnya.. katika dilihat beberapa hewan tersebut menempel dibagian atap mobilnya.
15 juni, ny.miyagi 74 thn, dikota taiwa, juga melihat phenomena ini, dan mendengarkan sesuatu yang jatuh diatas atap rumahnya, padahal saat itu cuaca terang dan tidak hujan..
16 juni, tn.saitama, jam 1:00 PM dikota Kuki
17 juni, tn.toyama, jam 8:40 AM dikota Asahi
9 juni,tn.ishikawa, dikota Nakanoto..
Pulau es Mengancam Dunia
20.03Sebuah pulau es seluas 260 km2, lima kali luas Jakarta Pusat, yang lepas dari gletser Petermann, Greenland, melintasi Lautan Arctic, Rabu (11/8/2010). Bisa dibayangkan, apabila seluruh es Greenland mencair, bisa menaikkan permukaan air dunia 6 meter. Jakarta Utara bisa tenggelam jika permukaan laut naik 2-3 meter.
Pulau es yang sedang "berenang" di Lautan Arctic itu segera memasuki tempat terpencil yang disebut Selat Nares, sekitar 620 km selatan Kutub Utara, yang memisahkan Greenland dan Pulau Ellsemere, Kanada. Dalam skenario terburuk, bongkahan es raksasa itu bisa saja mencapai perairan yang ramai dilalui kapal di mana bongkahan es Greenland serupa pada tahun 1912 menghancurkan Titanic.
"Pulau es itu sangat besar sehingga mustahil bisa menghentikannya," kata Hon-Ove Methie Hagen, glasiologis dari Universitas Oslo.
Jika pulau es setebal Empire State Building di New York ini memasuki Selat Nares sebelum beku musim dingin (bulan depan), lintas kapal di sekitar Kanada akan terusik. Dan, jika bongkahan es raksasa itu mengalir ke selatan akibat didorong arus, lalu mencapai pantai timur Kanada, perairan yang sibuk, pengiriman minyak dari Newfoundland akan terganggu.
Pulau es itu amat berbahaya bagi anjungan minyak Grand Banks di lepas pantai Newfoundland, Kanada. "Dari sanalah bisa menjadi titik awal bencana besar," kata Mark Drinkwater dari Badan Antariksa Eropa.
Daya dorong pulau es itu sangat kuat, dapat menyapu anjungan minyak lepas pantai serta kapal-kapal yang ada di depannya. Benturan yang ditimbulkannya pun dapat menyebabkan kerusakan parah. Jika es itu mencair, berpotensi menaikkan permukaan laut global setinggi 20 kaki atau 6 meter!
Pulau es itu pertama kali terlihat lewat satelit oleh seorang peramal es dari Kanada, Tudy Wohllenben, Kamis (5/8/2010). Debit air segar jika es itu meleleh bisa memasok kebutuhan air bagi seluruh warga Amerika Serikat selama 120 hari atau empat bulan.
Canadian Ice Service memperkirakan, laju bongkahan es itu memakan waktu satu atau dua tahun mencapai pesisir timur Kanada. Kemungkinan juga akan pecah menjadi potongan-potongan kecil akibat menabrak gunung es dan pulau-pulau karang. Bongkahan-bongkahan itu juga akan roboh atau mencair akibat angin dan gelombang. "Tapi bongkahan hasil pecahan itu terbilang cukup besar," kata Trudy Wohllenben.
Reuters melaporkan, peristiwa lepasnya pulau es dari gletser Petermann, Kutub Utara, ini merupakan fenomena alam terbesar dalam kurun 28 tahun. Terakhir terjadi pada tahun 1962 ketika Ward Hunt Ice Shelf, Greendland, membentuk sebuah pulau.
Para ilmuwan Amerika Serikat mengatakan, sulit mengklaim robohnya bongkahan es raksasa itu akibat pemanasan global sebab rekaman tentang air laut di sekitar gletser itu tersimpan sejak 2003. Aliran air laut di bawah gletser menjadi penyebab utama lepasnya pulau es dari Petermann, Greenland.
Pulau es yang sedang "berenang" di Lautan Arctic itu segera memasuki tempat terpencil yang disebut Selat Nares, sekitar 620 km selatan Kutub Utara, yang memisahkan Greenland dan Pulau Ellsemere, Kanada. Dalam skenario terburuk, bongkahan es raksasa itu bisa saja mencapai perairan yang ramai dilalui kapal di mana bongkahan es Greenland serupa pada tahun 1912 menghancurkan Titanic.
"Pulau es itu sangat besar sehingga mustahil bisa menghentikannya," kata Hon-Ove Methie Hagen, glasiologis dari Universitas Oslo.
Jika pulau es setebal Empire State Building di New York ini memasuki Selat Nares sebelum beku musim dingin (bulan depan), lintas kapal di sekitar Kanada akan terusik. Dan, jika bongkahan es raksasa itu mengalir ke selatan akibat didorong arus, lalu mencapai pantai timur Kanada, perairan yang sibuk, pengiriman minyak dari Newfoundland akan terganggu.
Pulau es itu amat berbahaya bagi anjungan minyak Grand Banks di lepas pantai Newfoundland, Kanada. "Dari sanalah bisa menjadi titik awal bencana besar," kata Mark Drinkwater dari Badan Antariksa Eropa.
Daya dorong pulau es itu sangat kuat, dapat menyapu anjungan minyak lepas pantai serta kapal-kapal yang ada di depannya. Benturan yang ditimbulkannya pun dapat menyebabkan kerusakan parah. Jika es itu mencair, berpotensi menaikkan permukaan laut global setinggi 20 kaki atau 6 meter!
Pulau es itu pertama kali terlihat lewat satelit oleh seorang peramal es dari Kanada, Tudy Wohllenben, Kamis (5/8/2010). Debit air segar jika es itu meleleh bisa memasok kebutuhan air bagi seluruh warga Amerika Serikat selama 120 hari atau empat bulan.
Canadian Ice Service memperkirakan, laju bongkahan es itu memakan waktu satu atau dua tahun mencapai pesisir timur Kanada. Kemungkinan juga akan pecah menjadi potongan-potongan kecil akibat menabrak gunung es dan pulau-pulau karang. Bongkahan-bongkahan itu juga akan roboh atau mencair akibat angin dan gelombang. "Tapi bongkahan hasil pecahan itu terbilang cukup besar," kata Trudy Wohllenben.
Reuters melaporkan, peristiwa lepasnya pulau es dari gletser Petermann, Kutub Utara, ini merupakan fenomena alam terbesar dalam kurun 28 tahun. Terakhir terjadi pada tahun 1962 ketika Ward Hunt Ice Shelf, Greendland, membentuk sebuah pulau.
Para ilmuwan Amerika Serikat mengatakan, sulit mengklaim robohnya bongkahan es raksasa itu akibat pemanasan global sebab rekaman tentang air laut di sekitar gletser itu tersimpan sejak 2003. Aliran air laut di bawah gletser menjadi penyebab utama lepasnya pulau es dari Petermann, Greenland.
Tahukah Anda Bahwa Kullit Manusia Bisa Mendengar
14.40KULIT manusia bisa
mendengar? Sepertinya
terdengar tak masuk akal.
Tetapi studi baru,membuktikan, manusia bukan hanya mendengar dengan telinga, tapi juga melalui kulit. Temuan itu dilandasi atas percobaan. Peserta percobaan itu diminta mendengarkan suku kata sewaktu hembusan udara mengenai kulit mereka, lalu otak mereka akan menerima dan menyatukan informasi dari beragam indera untuk membuat gambaran mengenai keadaan sekeliling. Bersama dengan pekerjaan lain, penelitian itu melemparkan pandangan tradisional mengenai bagaimana orang menafsirkan dunia di kepala mereka. "Ini sangat berbeda dari pendapat yang lebih tradisional, yang dilandasi atas kenyataan bahwa kita memiliki mata. Jadi kita mengira diri kita melihat informasi yang terlihat. Dan kita memiliki telinga, sehingga kita mengira diri kita mendengar informasi yang dapat didengar. Itu agak menyesatkan," kata Bryan Gick, peneliti dari University of British Columbia, Vancouver, kepada penulis LiveScience Jeanna Bryner. "Penjelasan yang lebih mungkin adalah kita memiliki otak yang merasakan, dan bukan kita memiliki mata yang melihat dan telinga yang mendengar. Dengan kemampuan semacam itu, Gick memandang manusia sebagai mesin perasa seluruh tubuh," kata Bryner di laman LiveScience.com . Penelitian yang didanai oleh Natural Sciences and Engineering Council of Canada dan National Institutes of Health, dirinci di dalam jurnal Nature , terbitan 26 November. Karya Gick dibangun atas bermacam studi masa lalu yang memperlihatkan, misalnya, "kita dapat melihat cahaya dan mendengar suara", bahkan jika kita menyadarinya secara tak sengaja. "Studi lain memperlihatkan jika Anda mengamati bibir seseorang bergerak dan mengira orang lain sedang berbicara, wilayah indera pendengaran di otak Anda akan berpijar", kata Gick. Banyak ilmuwan telah menjelaskan haluan penginderaan semacam itu sebagai hasil dari pengalaman, 'sewaktu kita melihat dan mendengar orang berbicara sepanjang waktu sehingga alamiah untuk mengetahui bagaimana menyatukan apa yang kita lihat dengan apa yang kita dengar'. Pilihannya akan berupa kemampuan pembawaan. Dan dengan demikian Gick dan rekannya Donald Derrick, yang juga berasal dari University of Brititsh Columbia, mengkaji dua indera yang tidak secara umum berpasangan - pendengaran dan peraba - untuk mengetahui pangkal persepsi. Bagaimana Kulit Mendengar? Tim itu memusatkan perhatian pada suara yang diucapkan dengan hembusan, seperti 'pa' dan 'ta' yang melibatkan semburan udara yang tak dapat didengar ketika diucapkan, serta suara yang tak diucapkan dengan hembusan, seperti 'ba' dan 'da'. Peserta yang ditutup matanya mendengarkan rekaman suara pria yang mengatakan masing- masing dari keempat suku kata, dan harus menekan tombol untuk menunjukkan suara mana yang mereka dengar pa, ta, ba , atau da . Semua peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri atas 22 orang, dan satu kelompok yang mendengarkan suku kata. Sementara hembusan udara ditiupkan ke tangan mereka, yang lain ditiupkan udara ke tengkuk mereka, dan kelompok pemantau mendengarkan suara tanpa hembusan udara. Sebanyak 10 % waktu saat udara dihembuskan ke kulit, semua peserta secara keliru menerima suku kata yang diucapkan tanpa hembusan udara, atau sama dengan yang diucapkan dengan hembusan udara. Jadi, ketika orang itu mengatakan ba , peserta itu akan menunjukkan mereka mendengar suara 'pa'. Kelompok pemantau tak memperlihatkan persepsi keliru semacam itu. Satu eksperimen lanjutan saat kulit peserta ditepuk dan bukan mendapatkan hembusan udara, tak memperlihatkan campur- aduk antara suara yang diucapkan dengan dan tanpa hembusan udara. Selanjutnya, Gick bekerja sama dengan beberapa ilmuwan dari University of California, San Francisco, untuk mengetahui bagaimana otak membiarkan integrasi banyak-indera semacam itu.
mendengar? Sepertinya
terdengar tak masuk akal.
Tetapi studi baru,membuktikan, manusia bukan hanya mendengar dengan telinga, tapi juga melalui kulit. Temuan itu dilandasi atas percobaan. Peserta percobaan itu diminta mendengarkan suku kata sewaktu hembusan udara mengenai kulit mereka, lalu otak mereka akan menerima dan menyatukan informasi dari beragam indera untuk membuat gambaran mengenai keadaan sekeliling. Bersama dengan pekerjaan lain, penelitian itu melemparkan pandangan tradisional mengenai bagaimana orang menafsirkan dunia di kepala mereka. "Ini sangat berbeda dari pendapat yang lebih tradisional, yang dilandasi atas kenyataan bahwa kita memiliki mata. Jadi kita mengira diri kita melihat informasi yang terlihat. Dan kita memiliki telinga, sehingga kita mengira diri kita mendengar informasi yang dapat didengar. Itu agak menyesatkan," kata Bryan Gick, peneliti dari University of British Columbia, Vancouver, kepada penulis LiveScience Jeanna Bryner. "Penjelasan yang lebih mungkin adalah kita memiliki otak yang merasakan, dan bukan kita memiliki mata yang melihat dan telinga yang mendengar. Dengan kemampuan semacam itu, Gick memandang manusia sebagai mesin perasa seluruh tubuh," kata Bryner di laman LiveScience.com . Penelitian yang didanai oleh Natural Sciences and Engineering Council of Canada dan National Institutes of Health, dirinci di dalam jurnal Nature , terbitan 26 November. Karya Gick dibangun atas bermacam studi masa lalu yang memperlihatkan, misalnya, "kita dapat melihat cahaya dan mendengar suara", bahkan jika kita menyadarinya secara tak sengaja. "Studi lain memperlihatkan jika Anda mengamati bibir seseorang bergerak dan mengira orang lain sedang berbicara, wilayah indera pendengaran di otak Anda akan berpijar", kata Gick. Banyak ilmuwan telah menjelaskan haluan penginderaan semacam itu sebagai hasil dari pengalaman, 'sewaktu kita melihat dan mendengar orang berbicara sepanjang waktu sehingga alamiah untuk mengetahui bagaimana menyatukan apa yang kita lihat dengan apa yang kita dengar'. Pilihannya akan berupa kemampuan pembawaan. Dan dengan demikian Gick dan rekannya Donald Derrick, yang juga berasal dari University of Brititsh Columbia, mengkaji dua indera yang tidak secara umum berpasangan - pendengaran dan peraba - untuk mengetahui pangkal persepsi. Bagaimana Kulit Mendengar? Tim itu memusatkan perhatian pada suara yang diucapkan dengan hembusan, seperti 'pa' dan 'ta' yang melibatkan semburan udara yang tak dapat didengar ketika diucapkan, serta suara yang tak diucapkan dengan hembusan, seperti 'ba' dan 'da'. Peserta yang ditutup matanya mendengarkan rekaman suara pria yang mengatakan masing- masing dari keempat suku kata, dan harus menekan tombol untuk menunjukkan suara mana yang mereka dengar pa, ta, ba , atau da . Semua peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri atas 22 orang, dan satu kelompok yang mendengarkan suku kata. Sementara hembusan udara ditiupkan ke tangan mereka, yang lain ditiupkan udara ke tengkuk mereka, dan kelompok pemantau mendengarkan suara tanpa hembusan udara. Sebanyak 10 % waktu saat udara dihembuskan ke kulit, semua peserta secara keliru menerima suku kata yang diucapkan tanpa hembusan udara, atau sama dengan yang diucapkan dengan hembusan udara. Jadi, ketika orang itu mengatakan ba , peserta itu akan menunjukkan mereka mendengar suara 'pa'. Kelompok pemantau tak memperlihatkan persepsi keliru semacam itu. Satu eksperimen lanjutan saat kulit peserta ditepuk dan bukan mendapatkan hembusan udara, tak memperlihatkan campur- aduk antara suara yang diucapkan dengan dan tanpa hembusan udara. Selanjutnya, Gick bekerja sama dengan beberapa ilmuwan dari University of California, San Francisco, untuk mengetahui bagaimana otak membiarkan integrasi banyak-indera semacam itu.